Senin, 20 Juni 2011

Makalah Hukum Islam




PENDAHULUAN

Manusia diciptakan di muka bumi ini tidak lain hanyalah untuk beribadah baik ibadah yang bersifat vertikal maupun ibadah yang bersifat horizontal, hal ini sudah tercakup dalam sebuah bingkai yaitu agama dan agama yang mengatur secara komprehensif tentang perihal itu adalah agama islam, sebab dalam islam terkandung nilai-nilai, prinsip dan asas yang diformulasikan menjadi sebuah kaidah dan aturan kemudian selanjutnya dijadikan suatu landasan serta petunjuk bagi pemeluknya dalam hal ini adalah kaum muslim (mukmin). Nilai-nilai tersebut di atas mengadung unsur rahmatal lil a’lamin (rahmat untuk semesta alam) sehingga islam itu menjadi agama yang penuh kedamaian.
Agama Islam adalah agama berdasarkan syariat Allah yang terkandung dalam kitab Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Setiap orang yang mengintegrasikan dirinya kepada Islam wajib membentuk seluruh hidup dan kehidupannya berdasarkan syari’at yang termaktub dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal tersebut sebagaimana diungkap oleh Yusuf Qardhawi, syari’at Ilahi yang tertuang dalam Al-Qur’an dan Sunnah merupakan dua pilar kekuatan masyarakat Islam dan agama Islam merupakan suatu cara hidup dan tata sosial yang memiliki hubungan integral, utuh menyeluruh dengan kehidupan idealnya Islam ini tergambar dalam dinamika hukum Islam yang merupakan suatu hukum yang serba mencakup.[1]
Selanjutnya menurut Muhammad Ali At-Tahanawi dalam kitab Kisyaaf Isthilahat Al funun pengertian syari’at mencakup seluruh ajaran islam yang meliputi aspek akidah, ibadah, akhlak dan muamalat (kemasyarakatan), dari keempat aspek ini sangat jelas dan tegas bahwa islam mempunyai dasar-dasar dan prinsip dalam menjalankan kehidupan yang notabene sebagai petunjuk bagi manusia di dunia ini. implementasi syari’at Islam atas dua sumber utama di atas ( Al-quran dan Hadist ) dewasa ini tidaklah semudah membalikkan tangan. Era modernisasi telah menempatkan manusia menjadi bagian dan perkembangan yang penuh dengan kontroversi, tantangan dan persaiangan yang menyebabkan munculnya nilai dan kebutuhan baru bagi mereka yang tidak lagi sekedar sederhana. keberadaan syari’at Islam yang konsisten/ajeg pada prinsip dan asasnya tidaklah harus statis, tetapi harus bisa bergerak fleksibel dan dapat mereduksi perkembangan dan kemajuan kehidupan manusia. Itulah yang diharapakan oleh para mujtahid dalam merumuskan hokum islam sehingga perkembangan syari’at islam akan lebih kontekstual dan berkesinambungan. Sebagaimana dibahasakan Hasan Bisri hal tersebut merupakan kegiatan reaktualisasi Islam, dimana secara garis besarnya adalah menekankan pada pengejawantahan Islam dengan me-reinterpretasi sumber hukum Islam dengan menggunakan kebutuhan, situasai, dan kondisi.[2]
Hukum Islam memberikan sebuah tuntutan dalam mengimplementasikannya secara fleksibel dan mampu mengikuti perkembangan zaman. Dalam hal ini peranan ijtihad sanagatlah penting dalam menjawab tuntutan tersebut karena ijtihad sebagai instrumen dalam merumuskan aturan / regulasi yang belum bahkan tidak ada (tidak diatur) di dalam Al-quran dan As-sunah. Sehingga aktualisasi hukum Islam melalui media ijtihad dalam prakteknya lebih konseptual dan kontekstual.





PEMBAHASAN
( MATERI PRINSIP-PRINSIP HUKUM ISLAM )

Dari sedikit uraian yang disinggung secara garis besar pada pendahuluan di atas tentang prinsip-prinsip Hukum Islam maka dalam pembahasan ini akan di jelaskan secara terperinci mengenai prinsip-prinsip Hukum Islam. Hukum Islam adalah pedoman hidup yang ditetapkan Allah SWT untuk mengatur kehidupan manusia agar sesuai dengan keinginan Al-Qur’an dan Sunnah.[3] Dalam kajian ilmu ushul fiqh, yang dimaksud dengan hukum Islam ialah seperangkat aturan yang ditetapkan secara langsung dan lugas oleh Allah atau ditetapkan pokok-pokonya untuk mengatur hubungan antara manusia dan Tuhannya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam semesta. Adapun Abu Zahrah mengemukakan pandangannya, bahwa hukum adalah ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf baik berupa iqtida (tuntutan perintah atau larangan), takhyir (pilihan) maupun berupa wadh’i (sebab akibat). Dimaksudkan pada sifat yang telah diberikan oleh Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf.[4] Hasbi Ash-Shiddiqie mendefinisikan hukum secara lughawi adalah “menetapkan sesuatu atas sesuatu.[5] Secara etimologi (tata bahasa) prinsip adalah dasar, permulaan, aturan pokok. Juhaya S. Praja memberikan pengertian prinsip sebagai berikut: permulaan; tempat pemberangkatan; titik tolak; atau al-mabda.[6]
Adapun secara terminologi prinsip adalah kebeneran universal yang inheren didalam hukum Islam dan menjadi titik tolak pembinaannya, prinsip yang membentuk hukum dan setiap cabang-cabangnya. Prinsip hukum Islam meliputi prinsip umum dan prinsip umum. Prinsip umum ialah prinsip keseluruhan hukum Islam yang bersifat unuversal. Adapun prinsip-prinsip khusus ialah prinsip-prinsip setiap cabang hukum Islam.

Prinsip-prinsip hukum Islam sebagai berikut :

1. Prinsip Kekuasaan (Kewenangan Penguasa) dan Keadilan

Berbicara tentang kekuassaan / kewenangan penguasa itu tidak lepas dari teori yang terkait yaitu konsep Al-khilafah. Hal ini jelas merupakan ranah politik dan ketatanegaraan, akan tetapi dalam hal ini tidak dikupas dan tidak membicarakan persoalan tersebut secara terperinci hanya saja membahas kaidah-kaidah yang betrkaitan dengan permasalahan kekuasaan / kewenangan penguasa. Kemudian dalam hal kekuasaan itu tidak jauh berhubungan relevan dengan soal Keadilan karena kedua aspek itu sejatinya harus berjalan sejajar dan tidak dihadapkan secara frontal.
Kekuasaan disini kami kaitkan dengan konsep Khalifah yang merupakan konsep islam dalam hal penyelenggaraan Negara dan kepemimpinan. Makna dari khalifah itu sendiri adalah suatu susunan pemerintah yang diatur menurut ajaran agama islam, sebagai yang dibawa dan dijalankan oleh Nabi Muhammad SAW semasa hidupnya dan kemudian diteruskan serta dijalankan oleh para sahabat atau lebih dikenal dengan sebutan Khulafaur-Rasyidin (Abu BAkar, Umar Bin Khattab, Usman Bin Affan dan Ali Bin Abu Thalib) kemudian kepala negaranya dinamakan Khalifah.
Selanjutnya istilah keadilan menurut ilmuan Salaf adalah (keseimbangan/moderasi). Kata keadilan dalam al-Qur‟an kadang disamakan dengan al-qist. Al-mizan yang berarti keadilan di dalam Al-Qur‟an terdapat dalam QS. Al-Syura: 17 dan Al-Hadid: 25. Aspek keadilan pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi, keadilan dalam hukum Islam meliputi berbagai aspek. Prinsip keadilan ketika dimaknai sebagai prinsip moderasi, menurut Wahbah Az-Zuhaili bahwa perintah Allah ditujukan bukan karena esensinya, seba Allah tidak mendapat keuntungan dari ketaatan dan tidak pula mendapatkan kemadaratan dari perbuatan maksiat manusia. Namun ketaatan tersebut hanyalah sebagai jalan untuk memperluas prilaku dan cara pendidikan yang dapat membawa kebaikan bagi individu dan masyarakat.[7]

Dasar-dasar Khilafah ( Kewenangan Penguasa ) dan keadilan secara implisit di jelaskan dalam Al-quran Surat An-Nisa ayat 58-59 : “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu (pemimpin-pemimpin) supaya menunaikan amanah kepada ahlinya (rakyat) dan apabila kamu (hakim-hakim) hendak memutuskan sesuatu hukum di antara manusia hendaklah putusan itu dengan adil. Sesungguhnya amat baik pelajaran yang diajarkan Allah. Sesungguhnya Allah maha Mendengan lagi Maha Melihat”. Kemudian surat An-nur ayat 55 : “ Allah SWT telah menjanjikan kepada orang-orang mukmin dan orang-orang yang beramal sholeh diantara kamu bahwa mereka akan menjadi khalifah di muka bumi sebagaimana orang-orang dahulu telah menjadi khalifah, dan Allah akan menetapkan agama mereka (islam) yang diridhoiNya bagi mereka dan Allah akan mengganti ketakutan mereka dengan keamanan”.
Penggunaan  “adil/keadilan” dalam Al-Quran diantaranya sebagai berikut :
a.   QS. Al-Maidah : 8  “Manusia yang memiliki kecenderungan mengikuti hawa nafsu, adanya kecintan dan kebencian memungkinkan manusia tidak bertindak adil dan mendahulukan kebatilan daripada kebenaran (dalam bersaksi)” ;
b.   QS. Al-An‟am : 152 “Perintah kepada manusia agar berlaku adil dalam segala hal terutama kepada mereka yang mempunyai kekuasaan atau yang berhubungan dengan kekuasaan dan dalam bermuamalah/berdagang” ;
c.   QS. An-Nisa : 128 “ Kemestian berlaku adil kepada sesama isteri” ;
d.   QS. Al-Hujrat : 9 “Keadilan sesama muslim” ;
e. QS. Al-An‟am :52 “Keadilan yang berarti keseimbangan antara kewajiban yang harus dipenuhi manusia (mukalaf) dengan kemampuan manusia untuk menunaikan kewajiban tersebut”.

Dari prinsip keadilan ini lahir kaidah yang menyatakan hukum Islam dalam praktiknya dapat berbuat sesuai dengan ruang dan waktu, yakni suatu kaidah yang menyatakan elastisitas hukum Islam dan kemudahan dalam melaksanakannya sebagai kelanjutan dari prinsip keadilan, yaitu :
Artinya : Perkara-perkara dalam hukum Islam apabila telah menyeempit maka menjadi luas; apabila perkara-perkara itu telah meluas maka kembali menyempit.

Teori „keadilan‟ teologi Mu‟tazilah melahirkan dua terori turunan, yaitu :
1) al-sala’h wa al-aslah dan
2) al-Husna wa al-qubh.
Dari kedua teori ini dikembangkan menjadi pernyataan sebagai berikut :
a.   Pernyataan Pertama : Allah tidaklah berbuat sesuatu tanpa hikmah dan tujuan perbuatan tanpa  tujuan dan hikmah adalah sia-sia
b.   Pernyataan Kedua : Segala sesuatu dan perbuatan itu mempunyai nilai subjektif sehingga dalam perbuatan baik terdapat sifat-sifat yang menjadi perbuatan baik. Demikian halnya dalam perbuatan buruk. Sifat-sifat itu dapat diketahui oleh akal sehingga masalah baik dan buruk adalah masalah akal.

2. Prinsip Pengakuan dan Perlindungan Hak

Prinsip kebebasan dalam hukum Islam menghendaki agar agama/hukum Islam disiarkan tidak berdasarkan paksaan, tetapi berdasarkan penjelasan, demontrasi, argumentasi. Kebebasan yang menjadi prinsip hukum Islam adalah kebebasan dl arti luasyg mencakup berbagai macamnya, baik kebebasan individu maupun kebebasan komunal. Keberagama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip tidak ada paksaan dalam beragama.
Berhubungan hal tersebut di atas sangat berkaitan dengan pengakuan dan perlindungan hak. Hukum islam dalam mengatur pergaulan hidup manusia memberikan ketentuan-ketentuan tentang hak dan kewajiban agar ketertiban hidup masyarakat benar-benar dapat terwujud. Hak dan kewajiban adalah dua sisi dari sesuatu hal. Hak adalah kepentingan yang ada pada perorangan atau masyarakat, atau pada keduanya. Semua orang di depan hukum adalah sama (equality before the law) hal ini terkait dengan prinsip persamaan hak. Dalam hukum islam dikenal dan disinggung dalam Konstitusi Madinah (al-Shahifah), yakni prinsip Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah manusia atas manusia. Prinsip persamaan ini merupakan bagian penting dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam dalam menggerakkan dan mengontrol sosial, tapi bukan berarti tidak pula mengenal stratifikasi sosial seperti komunis. Hal tersebut di atas dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah : 256 dan Al-Kafirun: 5.




3. Prinsip Hukum Perjanjian dan Jual Beli

Allah telah menjadikan manusia untuk saling berinteraksi satu dengan yang lainnya karena hakekat manusia adalah sebagai makhluk sosial, dalam pergaulan hidup manusia mempunyai kepentingan terhadap orang lainsehingga menimbulkan hak dan kewajiban. Hubungan hak dan kewajiban ini diatur dengan kaidah hukum guna menghindari terjadinya bentrokan antara berbagai kepentingan. Adapun kaidah yang mengatur hubungan hak dan kewajiban itu disebut hukum muamalat.[8]

Perjanjian atau dalam kajian hukum islam dikenal dengan Akad merupakan suatu hubungan hukum antara satu orang atau beberapa orang untuk mengikatkan dirinya dengan satu orang atau beberapa orang lain untuk melakukan suatu perbuatan, maksud dan tujuan tertentu. Perjanjian dalam hukum positif dikenal dengan istilah perikatan yang melahirkan perjanjian yang mencakup perjanjian sewa-menyewa, perjanjian hutang-piutang dan perjanjian jual-beli. Kesemuanya itu diatur secara tegas dan jelas dalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP perdata) dalam bahasa belanda yaitu Bergelijke Webook (BW).
Hukum perjanjian itu sendiri tersirat pada Al-quran Surat : Al-Maidah Ayat 1 : “Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu”.

Pengertian jual-beli itu sendiri adalah menukar suatu barang dengan barang lain dengan cara tertentu dan dikuatkan dengan akad. Selanjutnya prinsip-prinsip jual beli dalam hukum islam adalah sebagai berikut :
1.      Berdasarkan dan merujuk pada Al-quran dan As-sunah
2.      Prinsip keterbukaan, kehalalan dan kerelaan (A’ntarodi minkum)
3.      Prinsip adanya pembentukan akad dan sighat akad
Dari prinsip tersebut mengandung kiafiyah (tata cara) dalam jual beli yang berdasarkan syariat islam (hukum islam / muamalat).
Prinsip jual beli disebutkan dalam Al-quran Surat An-nisa ayat 29 : “Janganlah kamu makan harta yang ada di antara kamu dengan jalan batil melainkan dengan jalan jual beli suka sama suka”. Kemudian Surat Al-Baqoroh ayat 275 : “ Allah tlah menghalalkan jula beli dan mengharamkan riba”.



























KESIMPULAN


Berdasarkan pembahasan mengenai prinsip-prinsip dan azas-azas hukum Islam diatas, yang menjadi inti pemahaman prinsip-prinsip dan azas-azas hukum Islam dapat diketahui atau diarahkan pada tujuan Hukum Islam itu sendiri. Hal tersebut adalah sebagai berikut :
1.   Islam telah meletakkan di dalam undang-undang dasarnya, beberapa prinsip yang mantap dan kekal, seperti prinsip menghindari kesempitan dan menolak mudarat, wajib berlaku adil, prinsip kekuasaan (kewenangan pengasa dalam hal ini adalah Khalifah), prinsip bermusyawarah dan memelihara hak (perlindungan dan pengakuan hak-hak) dan prinsip perjanjian (hukum jual beli).
2. Dalam dasar-dasar ajarannya, Islam berpegang dengan konsisten pada perinsip mementingkan persoalan yang lebih bersifat kontekstual dan fleksibel ( mengikuti perkembangan zaman)
3.   Hukum Islam berpegang dengan konsisten pada prinsip memelihara kemaslahatan manusia dalam kehidupan di dunia dan akhirat.









































REFERENSI

§  Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994 : 26
§  Basyir, Akhmad Azhar, Asas-asa Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), UII Press, Yogyakarta, 2000
§  Hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintangn, Jakarta, 1958 : 209
§  M. Hasbi Ash-Shiddiqieqy, Falsafah Hukum Islam, Bulan Bintang, Cet-V, Jakarta, 1993 : 73.
§  Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, LPPM Unisba, Bandung, 1995 : 69
§  Suryadi, Kamus Baru Bahasa Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya, 1980 :190 .
§  Wahbah Az-Zuhaili, Konsep Darurat Dalam Hukum Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1997 : vii.
§  Wahbah Az-Zuhaili, Al-Dharuurah Al-Syar’iyyah, Muasasah al-Risalah, Damaskus, tth : 30
§  Yusuf Qardhawi, Malamih Al-Mujtama Al-Muslim Alladzi Nansyuduhu, Maktabah Wahbah, Kairo, 1993 :151.









[1] Yusuf Qardhawi, Malamih Al-Mujtama Al-Muslim Alladzi Nansyuduhu, Maktabah Wahbah, Kairo, 1993 :151.
[2] Wahbah Az-Zuhaili, Konsep Darurat Dalam Hukum Islam, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1997 : vii.
[3] Yusuf Qardhawi, Op.Cit, hal 151.
[4] Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994 : 26
[5] Hasbi Ash-Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintangn, Jakarta, 1958 : 209
[6] Suryadi, Kamus Baru Bahasa Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya, 1980 :190 .
[7] Wahbah Az-Zuhaili, Al-Dharuurah Al-Syar’iyyah, Muasasah al-Risalah, Damaskus, tth : 30
[8] Basyir, Akhmad Azhar, Asas-asa Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), UII Press, Yogyakarta, 2000

Minggu, 19 Juni 2011

VISI MISI HIMMA

   
VISI DAN MISI
A.    Visi
Madrasah Ibtidaiyah Himmatut Tholibin sebagai lembaga pendidikan dasar berciri khas Islam perlu mempertimbangkan harapan murid, orang tua murid, lembaga pengguna lulusan madrasah dan masyarakat dalam merumuskan visinya. Madrasah Ibtidaiyah Himmatut Tholibin  juga diharapkan merespon perkembangan dan tantangan masa depan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi; era informasi dan globalisasi yang sangat cepat. Madrasah Ibtidaiyah Himmatut Tholibin ingin mewujudkan harapan dan respon dalam visi berikut :
 
Indikator Visi:
a.      Terwujudnya peserta didik yang berakhlak mulia sesuai dengan ajaran Rosulullah SAW
b.     Terwujudnya peserta didik yang mempunyai bekal spiritual serta taat menjalankan agama Islam
c.      Terwujudnya peserta didik yang berilmu amaliah dan beramal ilmiah
B.    Misi




a.         Melaksanakan pendidikan yang bermutu dan berkualitas.
b.         Menyelenggarakan pendidikan keimanan kepada Allah.
c.          Mewujudkan karakter Islam dan mampu mengaktualisasikan diri dalam masyarakat.
d.         Menyelenggarakan Madrasah yang efektif, efesien, transparan, dan akuntabel.
 

  1. Tujuan Pendidikan Madrasah
Secara umum, tujuan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah Himmatut Tholibin adalah  meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. Bertolak dari tujuan umum pendidikan dasar tersebut, Madrasah Ibtidaiyah Himmatut Tholibin  mempunyai tujuan sebagai berikut :

a.      Mengoptimalkan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Pembelajaran yang berpusat pada aktivitas siswa (student centered learning) antara lain PAKEM, CTL, Kompetensi Mata Pelajaran serta layanan bimbingan dan konseling.
b.     Memiliki kesadaran diri yang tinggi dalam menghayati serta mengamalkan ajaran agama yang dianut untuk membentuk budi pekerti mulia.
c.     Tingkat efektivitas seluruh kegiatan madrasah semakin meningkat didukung oleh suasana kerja yang kondusif dan harmonis.
d.     Meningkatkan prestasi akademik siswa dengan nilai rata-rata 7,00
e.      Meningkatkan prestasi siswa baik segi akademik dan non akademik dengan pendekatan pengembangan pembelajaran yang efektif  .